Quantcast
Channel: Alternative & Punk Archives • RUDOLF DETHU
Viewing all 209 articles
Browse latest View live

Domestic Groove: ADRIAN ADIOETOMO

$
0
0

adrianadioetomo
ADRIAN ADIOETOMO
Singer, Songwriter

What music are you into at the moment?
Lately I’ve been struck-dumb whenever I’m asked this question but then I realise that it’s because I don’t actually listen to music anymore. It’s partially because I don’t have time to sit down and listen but I’m also finding that listening to music has become confusing. Do we listen for entertainment? Or do we measure ourselves against certain qualities in it? Try to draw inspiration from it? Or is it just background music while we wash the dishes or something? Most times I end up studying any music I listen to, and that’s usually on YouTube and, whilst listening, I try to learn how other musicians do their job. Having said that, there are a rare few that directly resonate with me, get right to the core. Late as it may be, I’ve just gotten into Social Distortion again and through almost every album, I find myself realising that Mike Ness is soul-deep.

The last album I actually purchased was Burgerkill’s Venomous, cos’ once in a while, you get a metal album that has it all—brains, guts, and difference. Lana Del Rey is alright, she’s fake soul, but well-thought. Kinda reminds me of Marilyn Manson, drawing Americana references in a made-up personality. Not too crazy about her cover of Leonard Cohen’s “Chelsea Hotel” though.

What was the first record you bought—any interesting story behind it?
This would have to be a pirate-version of The Best of KISS, way back in the eighties. I must’ve been in the third grade or something and had just gotten into western music after having graduated from the pre-requisite Beatles school education that your parents feed you. I got curious about KISS when my mum told me they were just like the Beatles only crazier! That got me searching. Then I came across “I Was Made For Loving You” in some bootleg Top of the Pops video compilation. Wowed by their appearance, I bought the aforementioned album, and discovered their music to actually be smoother than The Beatles’ mono recordings. From then on, it was KISS all the way! …until I discovered Queen.

What are your all-time favourite albums? Why?
Oh, dude, this kills me. A lot of records have been a favourite of mine, and I really can’t pick only a few. I can find the qualities in most music I listen to, then change my mind as soon as I’m turned on to something else. So I really don’t know about all time. You gotta be bored with it once in a while, right? Besides, there is a lot more music out there that I haven’t discovered yet, and any of that may be another hit with me. I really don’t know.

What was the worst record you ever purchased?
Well, there have been a few. There have been some from musician’s I already knew, and some from unknown artists cos’ I’d just go ahead and buy thinking it’d be good. I bought Bjork’s Gling-Gló, a recording of her in a swing-band format doing, if I’m not mistaken, some Jazz standards or Latin stuff. I don’t know—it just didn’t do it for me. I love her other albums, though. And of course, there were a whole bunch of others, those albums you buy because they are on sale. I couldn’t ever resist buying those and most have turned out as dust collectors, even though I occasionally found a gem.

Who do you want to be, other than yourself, next time you reincarnate?
I don’t think I wanna think that far, I don’t know how life’s going to be after I die. Besides, I like my life now, good or bad. We need the bad times to know the good, right? If I could choose, maybe I’d like to be someone with more patience and less fear. Maybe I could go farther that way, but then again, I could end up in a cubical workspace sharpening pencils, who knows?

What book are you reading now and what’s the score (1-10)?
Jughead’s Double Digest from Archie Comics. Pure easy-reading brain-breeze. I kinda need it right now. It’s just a light-weight comic with a lot of 50′s leftover setting and fashion. It’s a 5, but who cares?
Appaloosacowboylands.net

What new movie should people see? Why?
I haven’t seen a new movie in a long while. Maybe Lawless, but I don’t know if I’d recommend it to anyone. To me, a movie don’t have to be good, as long as it’s got some sort of offbeat sense to it there’s a chance that I’ll like it. Appaloosa is one of them, I guess. And I usually like what the Coen Brothers do. Their remake of True Grit is pretty cool.

What music do you choose to start your weekend?
Anything my wife puts on! Weekend is family time for me and I can’t make them listen to Son House, or Marduk, or The Clash. If my son gets cranky, Mozart for babies it is.

And music you choose to end your weekend?
Maybe some classical, or Ryuichi Sakamoto. The end of a weekend is actually a start for me. Then I’ll browse YouTube for some gear knowledge or uploaded concerts.

adrianadioetomo-back

This very minute Adrian’s juggling promo for his latest album Karat & Arang as well as performing, writing new songs, rehearsing and planning gigs with a punk rock band he joined a few months ago called Citizen Useless. He’s still working out plans with Raksasa, a hard rock band that he’s also involved in. Other than that he’s cruising with his wife and their baby boy.

SEE ALSO
Raksasa: Laskar Pelangi Indie
Insomnia

_______________________

This interview was firstly published on The Beat (Jakarta) #89, September 2013
Co-editor: Lauren Shipman
All photos of Adrian by Rusli Effendi aka Fendee Pendol, Palembang
Watch the video of “Lidah Api Menari”, the first single of his latest album, Karat & Arang:


Imanez: Sunset & Sunrise

$
0
0

For English version please scroll down
Imanez-premiere
IMANEZ: SUNSET & SUNRISE

Sosok Imanez (almarhum) tidak banyak dikenal di masa sekarang. Ketika dilacak ke Google cuma sedikit sekali informasi yang bisa diserap. Pun di Wikipedia Indonesia, walau menyediakan keterangan tentang apa dan siapa Imanez, masih belum bisa dikategorikan komperehensif. Cukup tapi tidak cukup. Dan itu bukan sebuah fakta yang menggembirakan.

Musisi berbakat ini semestinya disuguhi ekspos lebih besar oleh media massa serta diberi apresiasi lebih tinggi oleh masyarakat penyuka seni khususnya skena senandung dalam negeri. Sebab sumbangsihnya kepada blantika musik Indonesia terhitung signifikan. Yang paling bisa dicatat adalah jasanya dalam mempopulerkan genre reggae ke publik luas, ke seantero Nusantara. Ia merupakan salah satu sosok penting yang memberi warna berbeda terhadap musik Indonesia pada pertengahan 90an yang notabene monokrom, statis di sekitar tema asmara picisan dengan irama pop mendayu-dayu. Tak hanya sampai di sana, satu tembang yang membuat namanya menjulang, “Anak Pantai”, pula secara bawah sadar bak menegaskan bahwa identitas reggae Indonesia adalah menyukai pesta, berperangai santai, bukan kriminal—mendamba damai, serta dekat dengan pantai. Seperti deretan syair yang tertuang di lagunya,

Gak kenal waktu / Party selalu / Yang ku suka hanyalah sunset dan sunrise…
Ooo…Anak pantai / Ooo…Suka damai / Ooo…Anak pantai / Ooo…Hidup santai

Ungkapan sedemikian rupa kebetulan didukung oleh videoklip yang lumayan jitu menghidupkan lirik yang dinyanyikan. Berikutnya di kehidupan nyata, ajaibnya, disambut anak muda bagai sebuah tata tertib tak tertulis bahwa jika anda mengidolakan reggae maka anda wajib bergaya santai, menghindari konflik—lebih memilih damai, menggemari keriaan—bergitar bersama sambil menikmati ikan bakar, salah satunya; serta memilih pantai sebagai ajang berekspresi dan unjuk eksistensi.

Nah, atas dasar minimnya penghargaan yang pantas terhadap talenta istimewa macam Imanez inilah insan-insan penyelenggara Vision International Image Festival (Vimage Fest) merasa terpanggil untuk menempatkan Imanez di posisi yang lebih layak, pun secara kebetulan banyak dari karya Imanez klop dan kontekstual dengan tema Vimage Fest yaitu bahari. Sudah begitu, Vimage Fest lalu melakukan napak tilas ke masa silam Imanez—mewawancarai beberapa figur utama, mendatangi sejumlah tempat esensial, menelisik dokumen substansial, menggali informasi vital—lalu menuangkannya ke dalam karya visual berupa film dokumenter. Imanez: Sunset & Sunrise lalu dijadikan judul, yang dikutip dari potongan lirik lagunya yang paling tenar. Apalagi sunset dan sunrise erat terkait dengan kelautan, tema utama Vimage Fest. Selebihnya untuk menegaskan bahwa Imanez tidak seharusnya namanya tenggelam (dalam blantika musik Nusantara) tapi muncul dan bersinar.

Imanez terlahir dengan nama Abdul Firman Saad pada 22 Juni 1968 di Jakarta. Ia dibesarkan di keluarga berdarah seni. Kakeknya merupakan seorang penggesek biola serta sang ayah pemetik gitar. Ketika belia Imanez amat menggemari The Beatles serta sempat memiliki semacam band keluarga yang khusus membawakan tembang-tembang The Beatles, Speedy Beetle. Beranjak dewasa ia mulai lekat bergaul dengan komunitas Potlot karena kebetulan bertetangga serta sama-sama mengelola studio musik di rumah masing-masing. Interaksi intensnya dengan anak-anak Potlot kian mengasah bakat musiknya yang memang menonjol sejak kecil—Imanez piawai memainkan berbagai instrumen terutama gitar, bas, kibor dan drum. Selain nama panggung yang tadinya cuma Iman bertransformasi menjadi Imanez (Iman yang memainkan bas Ibanez), ia juga diajak bergabung di Slank, grup musik paling menonjol di komunitas Potlot, sebagai penanggungjawab gitar juga bas serta sesekali menyanyi (tergantung posisi yang sedang lowong). Di era ini pula Imanez mengokohkan keberadaannya di blantika musik Indonesia dengan merilis album perdananya, Anak Pantai (1994). Meledaknya single yang bertajuk serupa dengan album seketika saja membuat musik reggae terangkat pamornya di masyarakat luas, lengkap dengan gono-gini tak resmi bahwa reggae mengakrabi pantai serta bertabiat santai. Setelah menerbitkan karya keduanya setahun setelahnya, Sepontan, yang notabene kurang terdengar gaungnya, perlahan Imanez mulai jarang tampil di depan umum. Sampai kemudian pada 2004 publik mendengar namanya lagi justru karena kabar duka: ia meninggal dunia akibat gangguan lambung akut dan kanker hati. Musisi yang terlanjur dicap sebagai pengusung reggae—sejatinya di era tersebut ia lebih beredar di orbit alternative rock dan poros tengah macam Lenny Kravitz—ini meninggalkan seorang putri dan sepucuk album yang belum sempat diterbitkan.

RUDOLF DETHU
Penulis, Sutradara

Informal discussion before the film shooting; Satrio Prabotho (executive producer, 2nd from left), Oppie Andaresta (resource person, 3rd), Denny MR (resource person, 4th), Intan Anggita (assistant to the Director, 7th), Adib Hidayat (advisor, 8th), and me

English version

IMANEZ: SUNSET & SUNRISE

The late Imanez is not a well known figure at the moment. A Google search result does not yield much information. Indonesia’s Wikipedia has a brief profile about Imanez but without any comprehensive information. Enough but definitely not good enough. It is not a heartening fact.

This talented musician should have been widely exposed by the media and fully appreciated by the artistic communities, especially by those who are fans of Indonesian music. His contribution to our wealth of Indonesian music was significant. Among his vast contribution, popularizing the reggae throughout the archipelago must be noted. He managed to be a prolific figure who painted with a different color onto the canvas of Indonesia’s music scene during the mid-90s which was still remembered as a monochrome, static era when cheesy love ballads was reigning the chart. He did not stop there. One of his most popular songs, “Anak Pantai” (beach kids), unconsciously cemented Indonesian reggae identity as the music of the party, laid back and far from hard crime, it demands peace and an intimacy with the sea. Very much like the lyric of the song:

Couldn’t care less about time/ party all the time/ All I love are sunset and sunrise…
Ooo Beach Kids/Ooo… like peace/ Ooo… Beach kids/ Ooo… laid back life

That kind of lyric was supported by a spot-on video clip, bringing the words into life. In reality, magically all the fans took it as the unwritten rules: if you are a fan of reggae, you must be living a laid back kind of life, remove yourself from conflict—peace and happiness—strumming the guitar while grilling some fish, using beach as the place to express and showing up their existence.

Based on the lack of inappropriate appreciation for Imanez, Vision International Image Festival (Vimage Fest) feels obligated to put Imanez on his rightful throne. Accidentally, his songs are contextually matched with the theme of this festival: maritime.

A group of dedicated team from Vimage Fest then made a trip to the past of Imanez—starting from interviewing some of his closest family and friends, visiting some essential places where he lived and worked, flipping through substantial documents and digging through vital informations- then poured it all visually in one documentary film. Imanez: Sunset & Sunrise becomes the title, quoted from a piece of his famous song and an obvious tie with the maritime theme of Vimage Fest. Most importantly, this film is to highlight Imanez, whose name should never be drowning in the anonymity of Indonesian music history, but always there at the shining top.

Imanez was born Abdul Firman Saad on June 22nd, 1968 in Jakarta. He was raised in an artistic and musical family. His grandfather was a violinist and his father was a guitarist. He was a big fan of The Beatles, so much so he was part of a family tribute band, Speedy Beetle, who were specializing in performing The Beatles songs. He grew up with the Potlot community who happened to be his neighbour and each had a music studio. His intense interaction with the Potlot crew sharpens his musical talent which was clearly appeared ever since he was a kid. He was adept at playing various instruments such as guitar, bass, keyboard and drum. His old stage name, Iman, was transformed into Imanez (or Iman who played with Ibanez). He joined Slank, a leading band in Potlot community, as the person in charge for the guitar and bass, while singing once in a while, depending on available position. During this time, Imanez sealed his existence by releasing his first album, Anak Pantai (1994). His single—which title was the same with the album—successfully topped the chart and immediately raised the popularity of reggae, complete with the whole beach and laid back lifestyle. After the release of his less successful second album, Sepontan, two years later, Imanez slowly withdrawn from public life. Suddenly, the next thing public heard of him was the sad news of his death on 2004. He passed away because of an acute gastric ulcer sickness and liver cancer. This musician—who was known as the reggae legend—although it may be more fitting to put him in the center of alternative rock orbit like Lenny Kravitz, left one daughter and one album which have not been released.

RUDOLF DETHU
Writer, Director

_______________

Produced by Vision International Image Festival 2013
Executive Producer: Satrio Prabotho
Directed and written by Rudolf Dethu
Advisor: Adib Hidayat
Line Producer/Asst Director: Niken D. Rahayu
Assistant to Director: Intan Anggita
Director of Photography/Editor: Rio Simatupang
Camera Assistant: Farmaditya
Graphic Director: Panji Krishna
Graphic Design: Edy Saputra
English translation: Eve Tedja

Premiere: Sunday, October 20th, 2013, 6pm, Bentara Budaya – Denpasar

SEE ALSO
Gerakan Itu Bernama Bali Creative Festival

Whiskey Makes Me Crazy: Kumpulan Video The Tossers

$
0
0

TheTossers-Logo-rszd
Dulu saya pernah bilang, dan kini saya bilang lagi: The Tossers adalah kolektif Celtic Punk yang duhai saya ultra sukai. Mereka, menurut saya, adalah yang paling pantas menerima obor estafet dari grup proto Celtic Punk asal Irlandia paling terhormat sejagat: The Pogues. Kebetulan di bulan Oktober 2013 enam sekawan ini baru saja merilis video terbarunya, “USA”. Untuk memberi penghormatan kepada musisi diaspora Irlandia di Chicago yang telah malang melintang selama lebih dari 20 tahun ini—mereka berdiri sejak Juli 1993—maka saya sengaja kumpulkan video-video resmi yang pernah mereka rilis, secara periodikal, mundur ke belakang. Selamat menikmati! Sláinte!

Song: USA | Album: The Emerald City | Released: 2013

Emerald City | The Emerald City | 2013

Whiskey Makes Me Crazy | On a Fine Spring Morning | 2008

Katie at the Races | On a Fine Spring Morning | 2008

Siobhan | Agony | 2007

Good Morning Da | The Shadow of the Valley of Death | 2005

No Loot No Booze No Fun | The Shadow of the Valley of Death | 2005

Yang terakhir, “Maidrin Rua/Tell Me Ma” (Communication & Conviction, 2001), dicomot dari salah satu konser mereka. Sepertinya bukan bootleg karena kualitas gambar dan suaranya baik.

SEE ALSO
St. Patrick’s Day: Irish Whiskey, Celtic Punk, & More Whiskey

Domestic Groove: MARCEL THEE

$
0
0

MarcelThee
MARCEL THEE
Singer, Songwriter, Record Label Owner

What music are you into at the moment?
There’s a couple of local bands I’ve really been enjoying, such as Jirapah, Vague, and Polka Wars. There’s also a couple of Sandro Peri albums that’s kept me company on long drives, as well as a slew of mid-90s “slo-core” bands such as Rex, Codeine, and Bedhead I have really been getting into again. The global tape music scene has also given us so much great stuff that it’s also overwhelming. Just off the top of my head: Lee Noble, Sparkling Wide Pressure, Pierrot Lunaire. Endless.

What was the first record you bought—any interesting story behind it?
It would have to be a gimmick bootleg tape of Japanese late 80s anime/mecha drama in audio form. I had many—so many of those. My parents would buy it for me literally every Sunday after we visited grandpa, near a shopping mall where he lived. Remember malls? Anyway, it’s amazing how fun listening to those things were, it encapsulated and entertained the wildness and enormous power of the imagination to a child’s life more than a Flash game on an iPad ever would, I’m certain—not to sound jaded.
GBV-UnderTheBushesUnderTheStars
What are your all-time favourite albums? Why?
Difficult. Maybe Guided By Voices’ Under The Bushes Under The Stars or Nirvana’s In Utero. Nostalgia plays a lot into both. I remember the purchase, the first listen, the sleeve notes (as minimal as they were) vividly. I suppose Bedhead’s Bedheaded, Talk Talk’s Laughing Stock and Tortoise’s Millions Now Living Will Never Die would be runner ups.

What was the worst record you ever purchased?
Too many to mention. I had the Jazzy Jeff and Fresh Prince tape as well as an All-4-One tape at some point. But those are boring, obvious choices, so I’m going to go with that Pungent Stench album from 1990, I think, Been Caught Buttering which title is the most entertaining thing about the whole album. Also, any pop punk I might have mistakenly thought was “rockin’”.

Who do you want to be, other than yourself, next time you reincarnate?
I really don’t know. Either a Pope or some local tycoon from the late 80s; living without a soul sounds fascinating.

What book are you reading now and what’s the score (1-10)?
Having a 2-year old doesn’t really leave much time for heavy book reading. I re-read music bios everyday, that’s really it. I alternate between that Everett True bio of Nirvana and that Motley Crue biography, which is one spectrum of evolved-to-devolved music for sure. Oh, that Bonnie Price Billy book is incredible too.

What new movie should people see? Why?
Gravity probably, but everyone’s seen that. So let’s go with that new Dragon Ball Z movie.

What tunes do you choose to start your weekend?
I have boxes of self-made mixtapes filled with horrible 80s and 90s hits for long drives on the weekend. My favourite track to start each of those tapes has always been Peabo Bryson’s “If Ever You’re in My Arms Again”.

And tunes you choose to end your weekend?
Some Korean Death Metal or more Peabo.

MTguitar

“Why preach only to the converted?” exclaimed Marcel Thee back in 2005. He’d named his band Sajama Cut because it sounded weird and would leave casual fans guessing as to what kind of music they played. He stood for no ideals and just wanted his music to be listened to by everyone. Fast forward that tape; it’s 2013 and Marcel’s self-report card for this here year has been marked. His own label, The Bronze Medal, released—mostly in tape form—his solo recordings under the Strange Mountain moniker, re-released Sajama Cut’s second album on vinyl and also, his other project, Roman Catholic Skulls, has released their first album through Elevation Records. His solo record, as himself, With Strong Hounds Three, shall be re-released in vinyl by the end of the year.

SEE ALSO
Roman Catholic Skulls
Rock-n-Roll Exhibition: MARCEL THEE
Melepaskan Progresi Mental Secara Digital dan Gratis
Five Men, Pop-Manoeuvres & Manimal
Q: Are They Not Manimals? A: They Are Sajama Cut!

__________________

This interview was firstly published on The Beat (Jakarta) #91, November 2013
Co-editor: Lauren Shipman
Photos courtesy of Marcel Thee
Check out also his Facebook fanpage—and free download songs—here
Watch the official video of “Xanadu House”, from his solo album, With Strong Hounds Three

Superman Is Dead: Anarchy for the Nation

$
0
0

One gig after another, Superman Is Dead is constantly on the road, almost always away from home and, thus, until recently, the Bali-born and raised three-chord combatants have had next to zero spare time to get their heavily tattoo’d arses back into the recording studio. The last time the Kuta boys released an album, Angels and The Outsiders, was in February 2009. That was four years ago, a figure which represents the longest interval between albums in the entire history of their career. Well, the good news that you’ve been waiting for has been and gone. Yes, the wait is over, because, just few weeks ago, otherwise described as this October just gone, the biggest punk rock band in Indonesia smacked us with their latest opus: Sunset di Tanah Anarki.

Released through Sony Music Indonesia, the album consists of 17 songs—the most songs ever to be released on a single SID album. Staying true to their beliefs, Bobby Kool, Jon Eka Rock, and JRX, remain passionate in their fight for humanism, pacifism, pluralism and issues of equality. Choosing “Jadilah Legenda” as their first single represents an obvious statement about their idealism and the official videoclip for the track is an attempt to illustrate a strong support toward Bhinneka Tunggal Ika, the official national motto of Indonesia which means “unity in diversity,” to respect multiculturalism. Overall, the music presented within this latest album sees the boys travelling further through new realms of genre experimentation. Not only do they visit their usual destination of punk rock, but they go boat-tripping on a wild adventure to hardcore, metal, rockabilly, arena rock, and even throw a little drum’n’bass into the mix, in addition to orchestra and church choir.
SID-SunsetdiTanahAnarkicover
So what’s with anarchy? Let’s pass the mic to JRX: “Our desire for change, for the better, shall forever remain our eternal spirit, and anarchy as the trigger. We used the word anarchy as the liberation channel, as an attempt to transform anarchy into an advanced form of love—to help our home (Bali) from cultural, environmental, economic destruction.” The fight against such catastrophe has become an effective stimulant for the band’s songwriting process. “This unhappy world, has become a solid catalyst, and we produced tons of new songs because of that. Our label asked for 13 songs for the album, we gave them 17 war anthems,” adds JRX, flashing his trademark grin.

Founded in 1995, Superman Is Dead, were drawn together by a common love of Green day and NOFX, and their immediate underground cult status eventually transformed the trio from Kuta into a darling on the national scene. Their journey from punks to punk rock mega stars officially began after signing with Sony Music Indonesia in 2003. Perhaps SID is proof that when you throw a love of anarchy into the mix, a little bit of Kuta can go a long way. To date, they’ve released 9 albums, including one, 1997-2009, released on vinyl. Liked by more than 4 million in-your-face fans, SID hold the record for Facebook fans.

Get yourself a piece of SID, stalk them, and grab a copy of their latest album at www.supermanisdead.net.

SEE ALSO
1997-2009: The Early Years, Blood, Sweat, and Tears
One Million Facebook Fans Can’t Be Wrong
Superman Is Dead: Semangat Pantang Mundur & Seni Mengelola Ego
Superman Is Dead: The Vinyl Frontier
Superman Is Dead ~ Black Market Love
Superman Is Dead ~ The Hangover Decade

________

This article was firstly published on The Beat (Jakarta) #92, December 2013
Co-editor: Lauren Shipman
Watch their latest videoclip, “Belati Tuhan”, taken from Sunset di Tanah Anarki:

Island Skank: Jari Tengah adalah Diplomasi. Dari Bali.

$
0
0

IslandSkanks-cover
Di mata umum, barangkali ska disangka sedang sekarat. Atau minimal semaput. Beritanya sepi. Pingsan dari segala kegiatan. Padahal faktanya tidak. Secara global, ska relatif baik-baik saja. Hanya sedang minim ekspos media. Dalam skala Nusantara, walau publikasi karya musik baru memang terbilang jarang namun skenanya sejatinya tetap jaya wijaya. Island Skank – Never Forget Your Roots, album kompilasi dari Bali yang baru saja terbit beberapa pekan silam mencoba menggebrak keheningan ska dari anggapan publik tersebut.

“Yang jelas benang merahnya adalah musiknya berakar dari Jamaika,” ungkap Dodix, aktor intelektual di balik Island Skank, menjelaskan bahwa komposisi-komposisi yang ditampilkan memang didominasi ska namun reggae serta dub dirangkul pula. Hal itu ditegaskan lewat sub judulnya, Never Forget Your Roots, yang sekaligus mengingatkan agar terus merangkul akar, tak lupa pada asal muasal. Sementara mengenai jajaran pengisi ia mengajak serta sosok-sosok lokal dengan rekam jejak rancak namun kurang muncul di skena nasional. “Proses seleksi ditiadakan di sini. Saya telah paham kualitas mereka,” tambah pria yang juga menjabat sebagai Operations Manager di Superman Is Dead ini. “Saya ingin membawa para pegiat skena Pulau Dewata ini lebih jauh muncul ke permukaan, giving them the opportunity to shine.”

Terdiri dari 8 tembang serta 1 hidden track, album rilisan PUKULRATA ini dibuka oleh The Croto Chip lewat “Percuma” dengan warna ska punk a la Reel Big Fish (dan jika anda jeli, pasti segera bisa mengenal suara biduan Croto Chip!), berlanjut dengan merdunya suara penyanyi Pride of Lion bersenandung “That’s Wrong”, lalu ditimpali Rancid-esque Roots Radical dengan “Struggle Sun”, diikuti Garden Grove yang tenang lagi matang—sekilas mengingatkan kita pada Sublime—berdendang “Blazin”, kemudian disambut histeria ska muda agak mapan The Kool Katz via “Bintang Terang” dengan lirik sederhana namun bukan picisan, karakter suara biasa tapi sangat pas, musik tertata rapi plus sedikit mayestik, menjadikannya lagu paling menonjol di album ini; setelahnya Ska Teenagers Punk kembali mengajak kita ke ranah ska punk 90an dengan “Brotherhood”, lalu berikutnya combat rockers/clash city punkers/ska sandinista Jackknife Blues dengan tampan menyanyikan “Jackknife Blues” (ada kocokan gitar Leo Sinatra!), “Senja” oleh The Street Wolf yang bergaya ska tropikal bergulir setelahnya, dan akhirnya ditutup oleh dub narkotika “Speaker Separatis” karya bilateral dub organizer Soundbwoy Dodix dengan punk poet Vendetta yang berkolaborasi di bawah bendera Speaker Separatis.
SBD

Garden Grove

Garden Grove

July - JackknifeBlues

July, biduan Jackknife Blues.

“Island Skank dipakai sebagai tajuk, konteksnya adalah Island merepresentasikan Bali, sebuah pulau kecil, mirip dengan Jamaika. Sedangkan Skank merujuk pada tarian, menari, berdansa, diiringi musik ska atau reggae. Jadi terjemahan bebas Island Skank adalah Bali Menari,” pungkas Dodix.

Pick it up, pick it up, pick it up!
DaftarLagu
SIMAK JUGA
Lebih Lancip tentang Ska Bersama Rude Boy Dodix
Homegrown & Well Known: DODIX
Domestic Groove: RAS MUHAMAD
You Gotta Dance with The Authentics
Dreadlocked to Death

__________________

Untuk pemesanan album Island Skank – Never Forget Your Roots bisa melalui surel (e-mail) atau teks (SMS/WhatsApp):

1. Melalui surel.

Silakan lengkapi dahulu keterangan di bawah ini:

Nama:
Akun Surel:
Alamat Tempat Tinggal:
Kabupaten:
Provinsi:
Kode Pos:
No. Tel.:
Jumlah Pesanan CD:

Lalu salin-tempel (copy-paste) setelah dilengkapi dan kirim ke alamat surel rudolfdethu@rudolfdethu.com. dan cc. juga ke info@pukulrata.com. Keterangan tentang total biaya (harga CD Rp 35.000 + ongkos kirim) akan diberitakan ke anda setelah surel anda diterima.

2. Melalui teks.

Silakan lengkapi pernyataan di bawah ini:

Pesan: Island Skank. Jumlah: (silakan isi). Nama: (silakan isi). Alamat: (silakan isi, lengkap dengan kabupaten, provinsi, & kode pos). Sumber: www.rudolfdethu.com

Lalu salin-tempel dan kirim teks yang telah dilengkapi ke PUKULRATA di nomor +6281999409261. Keterangan tentang total biaya (harga CD Rp 35.000 + ongkos kirim) akan diteks balik ke anda setelahnya.

JFCC Charity Jam 2014

$
0
0

Poster-for-Charity-Jam-2014
Setelah kini masuk tahun ke-5 dan menghadirkan grup-grup musik terbaik dari skena alternatif seperti Efek Rumah Kaca, Sajama Cut, Seringai, KOIL, White Shoes and The Couples Company, The Brandals, Sigmun, Jamie Aditya, dsb; tahun ini menjadi era pamungkas JFCC Charity Jam in memory of Tim Mapes.

Demi mengucap selamat dengan penuh kesan, menutup pertemuan paling terakhir kali dengan menawan maka JFCC Charity Jam kembali diadakan pada Sabtu, 22 Maret 2014, pintu dibuka mulai 19.000, di Autopia, lantai 1, The Akmani Hotel; serta menampilkan jajaran paguyuban musisi sidestream istimewa yaitu Vague, SORE, ((AUMAN)) juga Teenage Death Star.

Vague, band dengan personel usia 20an ini akan naik ke panggung paling awal. Mengusung hardcore (istilah mereka pribadi: Punk. Not Punk.) sebagai fondasi bermusik dan mengingatkan kita pada Embrace, Rites of Spring, atau grup-grup di bawah label Dischord juga SST Records, trio asal Jakarta yang rencananya bakal menerbitkan album penuh di tahun 2014 ini pantas diintip oleh khalayak untuk membuktikan kenapa album mini mereka pada tahun 2012 begitu digemari.
Image: REBMAGZ

Image: REBMAGZ

SORE, paguyuban musisi veteran nan intelek yang telah malang melintang sejak 2002 ini menjadi penampil kedua. Band yang susah diklasifikan ke genre tertentu saking ciamiknya mencampur aduk resep musik, meliuk di antara warna jazz, rock, psikedelik, chamber pop; bersenandung dalam bahasa Indonesia, Inggris, Portugis pun Spanyol; mengombinasikan lirik memikat, santai dan bersenang-senang, serta nuansa retro yang kental; ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Selain membawakan tembang-tembang yang pernah tenar, semoga saja mereka sodorkan juga beberapa lagu baru dari album yang kabarnya hendak dirilis dalam waktu dekat.
((AUMAN)), kelompok cadas yang didatangkan langsung dari Palembang, menyusul beraksi di urutan ke-3. Pun grup yang pamornya sedang moncer di skena metal lokal akibat album perdananya, Suar Marabahaya, yang mengesankan banyak headbangers, belum terlalu sering punya kesempatan tampil di ibukota. Naga-naganya Riann Pelor dkk akan banyak ditunggu penggemarnya.
Teenage Death Star, kelompok slebor beranggotakan sosok-sosok tenar Bandung ini dijadwalkan hadir paling akhir. Band ugal-ugalan yang menolak konsep bahwa kepiawaian bermusik adalah segalanya—”Skill is dead!”—setelah sukses menggamit atensi publik lewat Long Road to Nowhere di 2008, memang tampaknya sungguh pas jadi penutup JFCC Charity Jam edisi penghabisan ini.

Di sela-sela serta akhir pertunjukan DJ Bodrek akan memainkan lagu-lagu keren dari musisi lokal dan internasional yang diambil langsung dari koleksi pribadinya.

Pagelaran musik JFCC Charity Jam yang telah dimulai sejak Februari 2010 ini bisa terselenggara atas sumbangan sukarela dari keluarga Timothy Mapes, mantan koresponden Wall Street Journal yang wafat di usia 42 di tahun 2010 akibat kanker otak.

Harga tiket: Rp 75.000 (pre-sale) atau Rp 125.000 (at the door).

Info lebih lanjut silakan klik di sini

SIMAK JUGA
JFCC Charity Jam 2013
JFCC Charity Jam 2011

Navicula: Ayo Bawa Harimau-Harimau Ini ke Roma!

$
0
0

HarimauMenujuRoma-mnpg

RILIS PERS

Ada satu hal yang pantas diteladani dari Navicula: sifat pantang menyerahnya. Walau tak selalu tegap tegak menantang, terkadang limbung juga diterjang badai di skena musik, namun bersikeras maju terus. Lanjutkan langkah. Harus sampai. Mesti tercapai.

Bayangkan, empat sekawan ini telah berkesenian sejak 1996, pantas menyandang gelar veteran. Mulai dari manggung di acara-acara kecil di banjar, bazaar, hingga bar. Berlanjut dengan “nyaris” go-national ketika bergabung dengan label raksasa, Sony BMG/Sony Music Indonesia, dan merilis Alkemis. Namun cita-cita Navicula ketika itu belum bisa kesampaian. Sepertinya penikmat musik Indonesia masih kagok memahami apa maunya paguyuban cadas asal Bali ini. Bisa jadi mereka sedikit terlampau mendahului jaman. Menjadi musisi sekaligus environmentalis, bahkan pada tahun 2005, masih anomali, aneh sendiri, belum se-hipster hari ini.

Robi (gitar, vokal), Dankie (gitar, vokal), Indra (bas), Gembull (drum), kemudian memilih untuk memisahkan diri dengan Sony dan memutuskan indie lagi. Bayangan akan jalur bebas hambatan yang telah menanti—pendistribusian album rekaman yang lancar mencapai pelosok Nusantara, promosi besar dan gencar di berbagai media, tawaran manggung nan melimpah ruah—harus dikubur dalam-dalam. Mesti mengulang dari awal. Restrukturisasi strategi. Balik jadi gembel.

Kondisi sedemikian celeng ternyata tak sanggup membunuh semangat Navicula. Dukungan moral kuat dari para sahabat, penghormatan dari sesama musisi dan kritikus seni yang gamblang bilang bahwa karya-karya Navicula adalah adiluhung, jitu menggelorakan gairah untuk terus maju. Sirna menghilang bukan pilihan. Apalagi, seperti kata Robi, “Musik adalah agama kami.”

Sejak itu mereka, meski ngos-ngosan, nekat lagi ngoyo menerbitkan sendiri album-albumnya, di antaranya, Beautiful Rebel (2007) dan Salto (2009), tetap keukeuh bicara rasa cinta pada lingkungan, kebebasan, dan kasih kepada sesama mahluk hidup. Sikap sedikit memaksa macam begitu nyatanya pelan tapi pasti meneguhkan kembali kedigdayaan mereka di skena musik lokal. Hingga akhirnya sifat pantang menyerah mereka mulai terbukti sakti. Selain tawaran manggung yang perlahan-lahan deras datang, pula kesempatan untuk main di manca negara terkuak terbuka. Tampil di Envol et Macadam Festival di Quebec, Kanada, September 2012, sebagai gebrakan perdana. Diikuti kesempatan rekaman di studio legendaris, Record Plant, di Hollywood di bawah asuhan sosok kawakan Alain Johannes—dan sekalian tur di seputaran Kalifornia, November 2012. Lalu muncul di Sydney Festival segera setelahnya, Januari 2013.

Di antara kesibukan sedemikian rupa, Navicula, didukung oleh Greenpeace, sebagai pejuang lingkungan, bersikukuh bersepeda motor menempuh 2000 kilometer selama 12 hari menembus hutan di Kalimantan. Aksi yang difilmkan ini, yang ditajuki “Mata Harimau”, adalah demi mengecek sendiri apa harimau masih ada, atau telah habis terbasmi oleh ketamakan penguasa yang bermufakat jahat dengan pengusaha. (Catatan: saat film ini diputar di hadapan penonton di Manning Bar, Sydney Festival, penonton tercekat, campur baur antara marah dan terharu. Marah terhadap pemodal dan pemerintah serakah. Terharu penuh hormat akan kepedulian Navicula kepada keberlangsungan kehidupan alam.)

Yang paling mutakhir, duo sinematografer beken, Riri Riza dan Mira Lesmana, bahu membahu bersama Navicula membikin videoklip untuk lagu “Harimau! Harimau!” dari album tergres Love Bomb dalam rangka menyebarkan pesan tentang bahaya kepunahan harimau di Nusantara ini.

Nah, apa yang kita semua bisa lakukan agar suara musisi berbakat nan pemberani ini lebih nyaring tersiar hingga ke penjuru jagat? Kebetulan Navicula ikut serta dalam lomba Hard Rock Rising 2014 yang di tahap pertamanya menyandarkan pada metode partisipatoris yaitu sistem voting. Sahabat sekalian tinggal klik “vote”—dengan bonus bisa mengunduh bebas bea lagu “Harimau! Harimau!”—di sini. Atau jika anda tinggal di Bali bisa padu padan antara berperan serta di Voting Party di Hard Rock Cafe, Kuta, besok mulai jam 9 malam, seraya meneriakkan soal kemerosotan kualitas lingkungan hidup, sekalian bersenandung, berjingkrak, bersenang-senang.
NaviculaHRRB-votingparty
Ya, jika bersikukuh pantang menyerah, boleh kita berharap harusnya sampai, semestinya sampai.


Adrian Adioetomo: Sabda Baru

$
0
0

Indonesian version please scroll down
CoffeWarENG-mnpg
On Saturday, May 24 2014, Adrian Adioetomo (MySeeds Records) will perform at Coffee War, Jalan Kemang Timur 15A, Jakarta.

The event will start by a screening of a videoclip of his second single of his album Karat & Arang entitled “Sabda Baru”. This also marks the launch of that video publically in Adrian’s YouTube channel.

Next, Adrian will play his selection of songs. Which will not only consists of songs from Karat & Arang, but also from his previous albums Delta Indonesia and Plays Standards… (Sort Of). There might even be a possible inclusions of cover songs as well.

What’s so special about his appearance in this occasion, Adrian will also elaborate on stories behind each songs. Here’s a chance for a peek of what the songs are supposed to mean or if they’re inspired by beautiful but scary experience. All in a relaxed and friendly atmosphere.

So come and see the fresh new clip “Sabda Baru”, watch Adrian’s performance and engage yourself in the casual and friendly chat. Cheers!
AdrianAdioetomo-SabdaBaru
Indonesian version

Pada hari Sabtu tanggal 24 Mei 2014 Adrian Adioetomo (MySeeds Records) mengadakan sebuah penampilan di Coffee War, jl Kemang Timur no. 15A.

Acara akan dimulai dengan diputarnya videoclip single ke dua dari albumnya Karat & Arang yang berjudul “Sabda Baru”. Ini sekaligus menandakan diluncurkannya lagu tersebut untuk publik di channel YouTube Adrian.

Selanjutnya, Adrian akan lanjut tampil membawakan lagu2 pilihannya. Lagu yang dimainkan tidak terbatas dari album Karat & Arang saja, tapi juga dari dua album sebelumnya, Delta Indonesia dan Plays Standards… (Sort Of). Bahkan kemungkinan ada lagu dari luar album2 tsb.
Yang istimewa dari penampilan kali ini, Adrian akan bercerita tentang kisah di balik lagu2 yang ia bawakan. Ini kesempatan untuk mengintip apa maksud lagu2 itu sebenarnya, dalam suasana yang santai dan akrab.

Mari saksikan bersama videoklip dan single “Sabda Baru”, simak penampilan Adrian dan berpartisipasi dalam obrolan cerita santai bersama.

_____________

Jika belum sempat menonton videoklip dari single pertama Adrian dari Karat dan Arang, “Lidah Api Menari”, silakan simak di bawah ini:

ROCK THE VOTE: #MelawanLupa

$
0
0

Eflyer-RocktheVote

“If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality.”

Kalimat mahsyur dari Desmond Tutu tersebut bisa secara lugas menjelaskan alasan lahirnya inisiatif kami untuk menyelenggarakan konser ROCK THE VOTE: #MelawanLupa. Sikap tidak netral atau golput dan tegas menetapkan pilihan muncul dari kekhawatiran kami akan kembalinya sosok cacat sejarah yang potensial bakal memimpin kehidupan bernegara.

Jangan sampai figur bermasalah yang diduga melakukan pelanggaran HAM, menculik para aktivis yang hingga kini belum kembali—entah masih hidup atau telah berpulang, sungguh mengerikan jika kemudian menduduki tahta kekuasaan.

Tindak kejahatannya saja belum tuntas diusut, rasa keadilan bagi pihak-pihak yang sanak keluarganya dilenyapkan pun belum sama sekali terselesaikan, kenapa tiba-tiba ia bahkan diberi jalan untuk mencalonkan diri sebagai presiden, pemegang kekuasaan tertinggi di Republik ini?

Sosok bermasalah bersama koalisinya ini, sekali lagi, jangan sampai terpilih menjadi pemimpin negara ini. Caranya adalah dengan membuka lebih lebar wawasan, pengalaman terutama di kalangan anak-anak muda (pemilih pemula) yang minim pengetahuan sejarah, khususnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 1998, serta kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya di masa lalu. Menolak ahistoris. Melawan lupa.

Berbagi sudut pandang bahwa bersikap netral, memilih golput, membiarkan sang capres terduga pelanggar HAM melenggang merebut tahta, adalah sama saja dengan membiarkan Indonesia kembali ke jaman Orde Baru, masa otoriter, era kegelapan.

Penyampaian pesan-pesan tersebut kami pikir paling efektif adalah melalui medium hiburan, melalui musik-musik yang penuh semangat, menghentak, riang, menggugah, via humor cerdas, merangkul dan mencerahkan.

Bakal tampil nantinya di panggung ROCK THE VOTE: #MelawanLupa adalah band glam rock /rif, grup industrial rock KOIL, band folk Indonesiana Payung Teduh serta supergrup pop Indonesia Trio Lestari (Glenn Fredly, Sandhy Sondoro, Tompi).
RIF
Selain itu akan tampil pula membacakan puisi yaitu Pangeran Siahaan, Dinda Kanya Dewi dan Rieke Dyah Pitaloka. Stand-up comedian, Sammy @NotASlimBoy juga akan tampil mengocok perut para penonton semua. Sekaligus nantinya mendengar testimoni Rahardja Waluya Jati dan Mugiyanto yang merupakan aktivis 1998 yang dulu sempat menjadi korban penculikan.

Sampai jumpa pada hari Rabu, 11 Juni 2014 mulai pukul 19:00 – 23:00 WIB di Rolling Stone Café, Jl. Ampera Raya No.16, Jakarta Selatan.

Untuk para penonton yang ingin menyaksikan para penampil-penampil ROCK THE VOTE: #MelawanLupa yang keren ini Anda hanya cukup dikenakan First Drink Charge sebesar Rp 50 ribu (soft drink).

Untuk informasi lebih lanjut tentang ROCK THE VOTE: #MelawanLupa dapat menghubungi Media Relations Staff: Fakhri 0813-2857 -8673 / fakhrizakaria@yahoo.com.

Rock in Capital

$
0
0

RockInCapital-poster

Duo laki-bini keren, Leo Sinatra dan Liz Oprandi, kembali berkolaborasi menggebrak pulau Dewata. Dalam rangka merayakan ulang tahun yang ke-2 institusi rock ‘n’ roll milik mereka, St. Lukas Company, akan diselenggarakan acara bertajuk St. Lukas Fest #2: Rock in Capital pada Jumat, 22 Agustus 2014, di lapangan Kompyang Sujana/Buyung, Lumintang.

Dibandingkan dengan pesta tahun kemarin yang cenderung bersahaja, dalam kapasitas kecil, maka kali ini skalanya lebih eksesif. Selain diadakan di tempat sekelas lapangan juga mengajak serta grup-grup papan atas dan veteran di skena musik nasional. Sebut saja misalnya Superman Is Dead, The Hydrant, dan band psychobilly yang digitari Leo, Suicidal Sinatra. Pula yang sedang naik daun di blantika lokal macam Jackknife Blues, Deep Sea Explorer, Garden Grove, serta Natterjack.
SuicidalSinatra-rszd
Yang menjadikan St. Lukas Fest kali ini makin pantas diberi perhatian lebih adalah akan tampilnya Travis Demsey, mantan penggebuk drum band punkabilly mahsyur asal Australia, The Living End. Selain itu bakal beraksi juga drummer Wolfmother, Dave Atkins.

Untuk informasi lebih lengkap silakan kunjungi Facebook page St. Lukas Company di sini.

Sejarah Jari Tengah serta Diplomasi Kontra Kultura

$
0
0
Johnny Cash, sebelum konser di penjara San Quentin, 1969 | iconicphoto.wordpress.com

Johnny Cash, sebelum konser di penjara San Quentin, 1969 | iconicphoto.wordpress.com

Foto di atas merupakan momen klasik yang terjadi di lembaga pemasyarakatan San Quentin pada tahun 1969. Johnny Cash yang sedang berlatih untuk pertunjukannya di depan para narapidana di LP yang berlokasi di California, Amerika Serikat, tersebut merasa kesal dengan fotografer Jim Marshall. Ungkapan gusarnya itu ia ungkapkan dengan mengacungkan jari tengah kepada Jim.

Gestur mengacungkan jari tengah sedemikian rupa merefleksikan tindakan derogatori, menghina lawan bicara, melecehkan pihak lain. Isyarat itu bisa dibaca sebagai “fuck you”, “fuck off”, “go fuck yourself”, “shove it up your ass”, “up yours”, “die motherfucker”, “persetan kau”, “kontol barbar”, “bangsat rendah”, “pukimak”, dan macam-macam ungkapan nyolot nan murtad Pendidikan Moral Pancasila, agama, serta sopan santun.

Di jagat Barat, gestur jari tengah tersebut ditajuki the finger (olah tubuh seolah-olah “giving someone the finger”). Dikenal pula dengan nama lain seperti the finger wave, the middle finger, flipping someone off, flipping the bird, the rude finger, the one finger salute, dsb.

The Infamous Middle Finger | andthatswhyyouresingle.com

The Infamous Middle Finger | andthatswhyyouresingle.com

Mau tahu sejarahnya?

Manuver the finger ini konon telah digunakan sejak peradaban Yunani Kuno dan Romawi Kuno (antara 8 Sebelum Masehi hingga 600 Masehi). The finger merepresentasikan batang kemaluan. Sementara dua jari di sisi kiri dan kanannya diposisikan mewakili buah zakar. The finger pula melambangkan hubungan badan. Ketika the finger diacungkan ke pihak lain, artinya bahwa si pengacung sedang merendahkan pihak tersebut.

Di masa Yunani Kuno gestur jari tengah itu disebut sebagai katapygon yang erat berhubungan dengan aktivitas seks anal. Di ensiklopedia Yunani Kuno, Suda, gestur jari tengah diterangkan sebagai “menyentuh lubang dubur dengan jari”.

Dalam budaya Latin the finger digolongkan sebagai digitus impudicus alias “jari yang memalukan, membuat tersinggung, tak senonoh”. Barangkali mirip dengan budaya kita yang menganaktirikan tangan kiri lalu menyebutnya “tangan kotor”.

Di masa Abad Pertengahan tindakan mengacungkan jari tengah dianggap setara saat ksatria mengacungkan lance (sejenis tombak) ke musuhnya, ekspresi merendahkan lawan, gestur disrespek.

Ksatria abad pertengahan mengacungkan lance | monsterhunter.wikia.com

Ksatria abad pertengahan mengacungkan lance | monsterhunter.wikia.com

Di era modern, menurut linguis Jesse Sheidlower, ia perkirakan the finger mulai tumbuhkembang di Amerika Serikat sekitar tahun 1890an. Antropolog Desmond Morris menyebut budaya mengacungkan jari tengah dibawa oleh para imigran Italia.

Aksi the finger yang paling pertama berhasil didokumentasikan di AS terjadi pada 1886. Old Hoss Radbourn, pemain baseball dari klub Boston Beaneaters, saat berpose bersama rekan setimnya tertangkap kamera mengacungkan jari tengahnya—kabarnya ia persembahkan kepada tim rival, New York Giants.

Old Hoss Radbourn, berdiri paling kiri, flipping the bird | historybyzim.com

Old Hoss Radbourn, berdiri paling kiri, flipping the bird | historybyzim.com

Pada 1976, wakil presiden AS masa itu, Nelson Rockefeller, terekam media mengacungkan jari tengah kepada para hippies saat berkampanye di New York. Peristiwa ini lalu memunculkan istilah baru: Rockefeller Gesture.

Rockefeller Gesture | theselvedgeyard.wordpress.com

Rockefeller Gesture | theselvedgeyard.wordpress.com

Pada periode belakangan ini, musisi dan atlet olahraga tampaknya yang paling kerap mengacungkan jari tengah di depan publik. Sering kali penyebabnya karena ultra sebal tanpa jeda dikuntit oleh para paparazzi.

Lemmy dan Wendy O. Williams saat mempromosikan EP duet mereka, Stand by Your Man | pinterest.com

Lemmy dan Wendy O. Williams saat mempromosikan EP duet mereka, Stand by Your Man | pinterest.com

Pun kolektif dance-pop asal NYC, Cobra Starship, mendendangkan tembang spesial soal jari tengah yang bertajuk, ya, “Middle Finger”.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Gestur the finger ini cukup populer juga di pergaulan anak muda Nusantara, lumayan sering dipraktekkan, terutama di skena musik cadas—dan lebih kerap bermakna “aku tak peduli” atau “fuck the world” dibanding “fuck you”.

Dalam konteks folklor lokal, kita juga memiliki gestur jari-jari semacam the finger walau tak sama persis namun setara bermakna derogatori. Saya nihil informasi gestur seperti foto di bawah ini sebutan tepatnya apa—istilah Inggrisnya sih fig sign. Yang jelas, sering dimaknai sebagai representasi berhubungan badan. Pun karena pemakai gestur ini didominasi penggunaannya oleh laki-laki, gestur ini kerap dipakai untuk menggambarkan lawan jenis yang dikategorikan, istilah tertibnya, friends with benefits.

Fig signs.

Fig signs.

Secara historikal fig sign ini diperkirakan muncul dari kultur Hindu, merefleksikan kontak seksual antara lingga (penis) dengan yoni (vagina). Gestur fig sign ini dipraktekkan juga oleh penduduk di negara-negara Eropa Timur dan Turki.

Kembali ke isu awal, di masa sekarang Rockefeller Gesture mulai rutin digunakan sebagai simbol keberanian, ekspresi perlawanan, proklamasi pembebasan diri terhadap nilai-nilai kaku di masyarakat, sebentuk diplomasi kontra kultura.

Namun, saking mahsyurnya, akibat terlalu menjamur penggunaannya di berbagai belahan dunia, terkesan sekadar gagah-gagahan (baca: korban Westernisasi), belakangan ini the finger perlahan tapi pasti kian kehilangan shock value-nya. Sudah hampir terlalu biasa, kelewat sering kita menyaksikan orang di sekitar kita mengacungkan jari tengah ke udara hingga akhirnya derajat ketersinggungan yang timbul anjlok secara signifikan. The finger is no longer offensive.

Lalu langkah apa yang mesti dilakukan agar mutu disrespek the finger kembali menjulang dan berbahaya? Mark L. Knapp, profesor emeritus bidang Komunikasi di University of Texas at Austin menyarankan menggandakannya: bersikaplah lebih total, acungkan kedua jari tengah!

Dua jari tengah ini khusus untuk para pencoleng pemrakarsa Reklamasi Teluk Benoa! | rawstory.com

Dua jari tengah ini khusus untuk para pencoleng pemrakarsa Reklamasi Teluk Benoa! | rawstory.com

SIMAK JUGA
Mano Cornuta
Heavy Metal Umlaut
One Hit Wonder
Get In the Ring, Mick Wall!
__________________

Tulisan ini mengutip paling banyak dari Wikipedia
Sampul artikel dipinjampakai dari gregodensdong.wordpress.com

Swingout Session with the Space Cadets

$
0
0

An amazing evening of rockabilly swing, space rock, and psychedelic groove.

Leonardo and His Impeccable Six

Leonardo and His Impeccable Six

Kaitzr

Kaitzr

Sigmun

Sigmun

beatroom-poster

Domestic Groove: RICKY SIAHAAN

$
0
0

RickySiahaan-guitar
RICKY SIAHAAN
Gitaris, Penulis

Musik apa yang sedang anda sukai saat ini?

Ada beberapa album atau lagu yang sedang menarik perhatian saya akhir-akhir ini. Kalau lagu mungkin adalah “Tersesat Di Antariksa”, nomor terbaru dari Morfem, band fuzz rock ibukota. Catchy, cepat melekat, dan adiktif. Untuk album lokal mungkin adalah Poison Nova, band black/death asal Cirebon yang menurut saya telah merilis album fenomenal berjudul Circle of Woe. Saya suka dengan selera metal mereka yang bisa menggabungkan banyak pengaruh. Dari mulai Dissection, sampai gerinda hardcore/punk. Tapi memorable. Tipe metal yang setelah selesai mendengarkan, CD player dimatikan, kita masih bisa ingat lagunya. Sudah lama saya tidak dapat sensasi itu dari musik ekstrem. Kalau album luar mungkin Napalm Death Apex Predator – Easy Meat, untuk non-metal/rock mungkin Lana Del Rey, Ultraviolence, atau juga Leonard Cohen, Popular Problems. Tahun lalu dan tahun ini penuh dengan musik bagus.

Apa album rekaman pertama yang anda beli—ada kisah menarik di baliknya?

Motley Crue, Theatre of Pain. Kelas 4 SD, kisaran tahun 86. Saya terobsesi mencari segala hal yang berbau musik rock setelah menonton video betamax berjudul Rock Concert yang menampilkan videoklip band-band rock dan heavy metal. Ada Def Leppard, Kiss, Journey dan lainnya. Somehow, Motley Crue bagi saya stand out dan punya magnet rockstardom yang susah terjelaskan ketika itu. Mungkin gabungan attitude, dan juga catchy songs. Dunno, you can say, I was capable in detecting badassery from an early age. Entahlah apakah itu hal yang baik atau buruk haha. Yang pasti dulu orang tua saya cukup panik ketika di kamar anaknya yang baru kelas 4 SD sudah terpajang poster Motley Crue yang berpose dengan pentagram dan full make-up.
SiameseDream
Apa album favorit anda sepanjang masa? Kenapa?

Pertanyaan model gini selalu paling susah untuk dijawab. Album musik bagi saya bukan kayak film HighlanderThere can be only one“. Tapi misalnya dipaksa harus memilih katakanlah lima album mungkin saya akan pilih:

1. Metallica – Master Of Puppets. Kenapa? Berani-beraninya Anda tanya kenapa?

2. Smashing Pumpkins – Siamese Dreams. Bagi saya pencapaian untuk sebuah kancah guitar based band. Ada vibe gender bender, ketika feminin dan maskulin melebur jadi satu. Di satu sisi bisa mencak-mencak dengan tsunami distorsi, kemudian di lagu lain tiba-tiba bisa super manis dan mellow. Variatif secara emosi. Dan ketika mood sedang ingin jadi geek, skill teknisnya juga bisa dikagumi. Paket lengkap.

3. Slayer – Reign In Blood. Salah satu pengalaman musik ekstrem pertama saya. Tanpa basa basi. Versi musik dari sebuah bogem mentah.

4. Black Sabbath – Paranoid. The band who started it all. Dan ini adalah album terbaik mereka. Belum terkontaminasi drama antar personel, dan pengaruh progresif rock.
.
5. My Bloody Valentine – Loveless. Manis dan bising, saya selalu suka ketika eksplorasi dibawa ke titik maksimum, tapi masih ada hook pop hingga saya merasa akrab dengan apa yang ingin mereka sampaikan. Beauty and provocation altogether.

Apa album rekaman terburuk yang pernah anda beli?

Hmm ini juga susah, karena banyak juga album yang jelek. Tapi yang teringat mungkin: Metallica, Load.

Di reinkarnasi berikutnya, selain diri anda sendiri, anda ingin menjadi siapa?

Hmm. Selain diri sendiri? Saya tidak pernah menginginkan kehidupan orang lain. Tapi bila harus bercermin dengan hidup orang lain, kehidupan Dave Grohl mungkin cukup menarik. Dalam artian perjalanannya seperti seru. Banyak naik turun seperti roller coaster, sangat-sangat musikal, berteman baik dengan idola-idolanya.

Buku apa yang sedang anda baca sekarang, skornya berapa (1-10)?

Baru saja menyelesaikan Are You Morbid? Buku tentang perjalanan hidup Tom Gabriel Fischer, frontman Celtic Frost/Hellhammer. The score is 7. Tom Fischer bukan Lemmy Kilmister dengan buku White Line Fever-nya. Celtic Frost juga tidak segila Motley Crue dengan kisah-kisah setingkat buku The Dirt. Tapi mengingat band ini adalah eksponen penting musik cadas, salah satu pionir dan saya memang suka musiknya, bolehlah diikuti kisahnya. Know your roots.
RunAllNight
Film baru apa yang orang-orang harus tonton? Kenapa?

Film action baru yang lagi beredar mungkin Run All Night. Popcorn movie is my kind of movie. Tapi saya suka plot cerita dan kompleksitas yang mengaduk emosi penonton. Menampilkan bahwa sebenarnya tidak ada yang sisi yang ekstrem hitam dan putih di dunia kriminal. Banyak sisi abu-abu. Kecuali bila bicara tentang kasih sayang orang tua ke anaknya. No compromise. Yang lain mungkin Predestination. Total mindfuck. Plot film yang memiliki twist? Check this movie out, bagi gue film ini meredefinisi istilah “twist”.

Lagu apa yang anda pilih untuk memulai akhir pekan?

Best Coast – “This Lonely Morning”

Dan lagu untuk mengakhiri akhir pekan?

Nothing – “Bent Nail”

RickySiahaan

Selain menggitari unit rock oktan tinggi Seringai dan me-Managing Editor-i majalah Rolling Stone Indonesia, Ricky sedang sumringah menjalani profesi sampingannya yang termutakhir: menjadi bagian manajemen dari seorang aktor/badass fighter bernama Iko Uwais. Artinya, jika anda adalah bagian dari serigala militia, jangan terlalu banyak berharap Seringai akan menerbitkan album baru dalam waktu dekat.

SIMAK JUGA
Seringai: Kian Nyaring dan Makin Bertaring
Seringai: Menolak Tua dan Bangga

Pop Punk dan Revivalisme

$
0
0
Superman Is Dead | Pic:  Muhammad Asranur

Superman Is Dead | Pic: Muhammad Asranur

Di Indonesia, barangkali hanya Bali satu-satunya daerah di mana punk rock menjadi musik arus utama, paling populer, menyalip genre apa pun.

Fenomena yang amat menarik. Sebuah anomali. Bisa jadi erat hubungannya dengan kedigdayaan Superman Is Dead dalam menaklukkan blantika musik Indonesia. Trio asal Pulau Dewata tersebut menjadi inspirasi utama bagi rekan-rekan sedaerahnya untuk memainkan aliran sejenis.
PopPunk
Dalam skala Nusantara, well, saya nihil data sahih bahwa memang Bobby Kool, Jon Eka Rock, dan JRX yang menggiring anak-anak muda beramai-ramai merangkul punk rock model mereka. Namun saya berjubel keyakinan bahwa tiga putra daerah tersebut memiliki porsi kolosal dalam mendongkrak popularitas punk rock hingga se-mainstream sekarang.

Orang-orang yang tadinya kurang yakin dengan pilihan punk rock-nya kemudian menetapkan hatinya secara penuh. Musisi yang sebelumnya memainkan punk rock garang, bukan yang tipe easy listening, berbelok lalu mengentalkan sisi popnya agar lebih ramah di kuping. Para remaja tanggung bak diberikan petunjuk cepat-tepat haluan apa yang sebaiknya dipilih, lengkap dengan bukti seberapa manjur petunjuk tersebut. Gejala sedemikian rupa terjadi di banyak kota besar Indonesia.

Manuver Spills Records, Bandung, merilis ulang (serta retouch di sana-sini) EP SID Bad Bad Bad di penghujung 2002 menjadi momen penting bagi eksistensi punk rock di kancah musik anak muda. Eskalasi tadi berlanjut menjadi ledakan ketika SID bergabung dengan Sony Music Indonesia lalu menerbitkan Kuta Rock City pada 2003. Disambung band punk rock asal Bandung, Rocket Rockers, yang menyusul berkoalisi dengan Sony. Di luar pusaran label mayor, nama Endank Soekamti bisa disebut juga memiliki peran signifikan mengharumkan nama punk rock hingga ke pelosok-pelosok.

Jika dirunut lagi ke belakang, berlimpah yang mengakui bahwa kedatangan Green Day ke Jakarta di tahun 1996 menjadi titik picu yang menggiring pegiat skena dan musisi bau kencur untuk menggeluti mazhab punk rock melodik/pop punk. Gaya yang berkecenderungan bersenang-senang, bercanda, konyol, jadi lebih diminati diminati dibanding yang pekat amarah dan politikal macam anarcho-punk.

Superman Is Dead sendiri bisa disebut sebagai pop punk dalam makna populer mengingat ketenarannya yang menakjubkan di Nusantara—sedang mengejar Slank dalam jumlah penggemar Facebook. Namun dalam konteks sub genre, mereka relatif berbeda dengan Rocket Rockers, Endank Soekamti, atau Pee Wee Gaskins yang cenderung renyah dan bicara hal-hal personal. SID, yang belakangan rajin menyorot isu sosiopolitikal tampaknya lebih pas disebut penganut punk rock new-traditionalist. Bayangkan The Clash campur Social Distortion plus sedikit penjelajahan ke wilayah musik lainnya.

Endank Soekamti | Pic: Mixradio

Endank Soekamti | Pic: Mixradio

Rocket Rockers | Pic: Rock in Celebes

Rocket Rockers | Pic: Rock in Celebes

Pee Wee Gaskins | Pic: s.tvguide.co.id

Pee Wee Gaskins | Pic: s.tvguide.co.id

Pop punk yang kelewat masif menjamur mulai memuakkan? Yang namanya trend ya memang begitu. Saking gencar tanpa jeda dieksploitasi akhirnya malah kontraproduktif, mencederai dirinya sendiri. Tapi itu normal, banyak korban yang bakal berjatuhan. Tapi akan tetap ada yang berdiri tegak menantang, mungkin tinggal secuil saja namun kuat karena telah sukses melewati tantangan jaman. Masih ingat trend sepatu Dr. Martens? Sempat menjadi sepatu sejuta umat. Lalu tumbang. Tapi cuma pingsan, tidak mati. Sepatu legendaris asal Inggris itu kini kembali, Dr. Martens revival.

Dan di Bali, skena pop punk—dalam konteks genre—kini tak segempita dulu. Ia kalah bersaing dengan punk rock new traditionalists a la SID. The Bullhead dan The Dissland, dua grup yang masih bertahan, misalnya; memang tak persis sama dengan SID. Tapi pesan-pesannya banyak mengarah ke isu sosiopolitikal. Yang jelas, punk rock masih tetap yang paling jaya wijaya di Bali.

Tu, wa, ga, pat!

SIMAK JUGA
Endank Soekamti: Semoga Kau di Neraka
Superman Is Dead: Anarchy for the Nation
BLITZKRIEG 3-CHORDS GABBA GABBA HEY | Punk, Propaganda, Pelopor, Predecessor, Progenitor
Punk Rock di Bali: Legenda Lalu dan Kisah Kini

__________________

Artikel yang saya tulis ini pertama kali dimuat di kolom opini di majalah Hai #18/2015, 4-10 Mei 2015


Domestic Groove: LEONARDO RINGO

$
0
0

English version click here

LeoRingo-mnpg
LEONARDO RINGO
Penyanyi, Penulis Lagu, Gitaris, Videografer

Musik apa yang sedang anda sukai saat ini?
Gue selalu suka mendengarkan musisi-musisi rilisan Motown dan juga Stax Records. The classic soul and funk selalu punya tempat spesial buat gue. Begitu juga dengerin jazz klasik, swing, big bands, dan mungkin juga sedikit rockabilly dan juga oldskool punk bands. Ada beberapa musisi baru yang lagi jadi perhatian gue, kaya Nick Waterhouse, Lake Street Dive, dan JD McPherson.

Apa album rekaman pertama yang anda beli—ada kisah menarik di baliknya?
Gue dulu harus nabung buat beli kaset sebiji doang. Dan kaset pertama yang gue beli adalah album Aerosmith yang Pump. Alesannya cukup cetek, covernya bagus banget haha… Tapi Pump adalah album yang keren.
FrankSinatra-PONR
Apa album favorit anda sepanjang masa? Kenapa?
Wah, album favorit sepanjang masa itu sulit banget nentuinnya. Banyak banget. Sebagian contoh aja mungkin Tom Waits yang Closing Time, Marvin Gaye yang What’s Going On, Frank Sinatra yang Point of No Return, Louis Prima The Wildest, sampai Napalm Death yang Scum mungkin haha…

Apa album rekaman terburuk yang pernah anda beli?
Gue pernah beli album solo Nuno Bettencourt. Gak usah dijelasinlah ya haha…

Di reinkarnasi berikutnya, selain diri anda sendiri, anda ingin menjadi siapa?
Gue mau jadi bokap gue. Dan beliin Leo kecil satu drumset dan juga gitar biar dia jadi musisi yang baik.

Buku apa yang sedang anda baca sekarang, skornya berapa (1-10)?
Lagi baca buku yang judulnya “Black Boy” karya Richard Wright, seorang Afro-Amerika yang juga punya minat terhadap sosialisme. Belum bisa menilai, karena belum selesai baca.
Frank-Movie-Poster-rszd
Film baru apa yang orang-orang harus tonton? Kenapa?
Gue jujur suka film Frank, film tentang band indie di Amerika. Absurd. Satu lagi The Judge, film yang bikin gue inget sama bokap gue.

Lagu apa yang anda pilih untuk memulai akhir pekan?
Lagu-lagu Chuck Berry yang mana saja cocok sekali buat weekend.

Dan lagu untuk mengakhiri akhir pekan?
Kembali ke Tom Waits dan Terry Callier.
LeoRingo-mnpg2

Bersama paguyuban rockabilly-swing yang dibiduaninya, Leonardo and His Impeccable Six, ia masih rutin berkeliling manggung dari satu pub ke arena. Built to Race, single dari album yang dirilis beberapa waktu silam, videoklip resminya direncanakan akan diluncurkan dalam waktu dekat. Sehubungan dengan ini, Leo memang sedang gemar mengkonsep videoklip. Sejak beberapa bulan lalu ia mulai merintis sebuah proyek membuat 50 videoklip gratis untuk teman-teman musisi yang dianggapnya bagus. Paling mutakhir, ia baru saja mensutradarai vidklip Matajiwa “1” serta Sentimental Moods “Sunny Sunday”. Vidklip “Built to Race” adalah juga gaweannya.

Leonardo & His Impeccable Six feat. Rebecca Reijman

$
0
0

LAHIS&RR-7

Foto-foto yang terpampang di sini adalah dokumentasi dari sesi latihan Leonardo and His Impeccable Six (LAHIS) dengan Rebecca Reijman semalam di sebuah studio di bilangan Jakarta Selatan.

Dalam rangka penampilan mendatangnya di acara Bali Unite’s Media Gathering septet rockabilly swinger LAHIS tertarik untuk sedikit riang ria bereksperimen dengan mengajak serta Rebecca Reijman yang sempat cukup lama vakum berdendang karena sibuk mengurusi keluarga. Di konser nanti rencananya LAHIS membuka lebar pintu bagi Rebecca untuk menyanyikan dua lagu: yang pertama ia bersenandung solo dengan diiringi oleh LAHIS, yang kedua berduet dengan LAHIS.
LAHIS&RR-8
LAHIS&RR-3
LAHIS&RR-2
Betul, Rebecca bakal tampil berbeda dengan yang biasanya publik kenal: ia hendak meliuk-liuk mendaki tanjakan tinggi, sedang, dan rendah melantunkan nada-nada swing. Sementara LAHIS akan mengajak penonton berdendang dan berdansa bersama lewat tembang dari album yang dua-duanya menggaet predikat adiluhung “Album of the Year” dari majalah Rolling Stone Indonesia, Built to Race (2013) dan The Sun (2010); serta album berisikan lagu-lagu reinterpretasi versi LAHIS, Mirrors, yang menggondol pujian “The Best Cover Album” (2013) dari majalah Juice Indonesia.

Biduan LAHIS, Leonardo Ringo, ketika dimintai komentarnya sesaat setelah latihan, ia hanya berujar pendek namun sarat pesan, “Ngeriiii…”

Bali Unite’s Media Gathering & Showcase sendiri dijadwalkan berlangsung pada Jumat minggu depan, 12 Juni 2015, di Rolling Stone Cafe. Selain LAHIS akan beraksi pula Matajiwa, Bite, dan The Alastair. Mulai pada jam 7 malam tepat dengan tiket seharga Rp50.000 + bonus majalah Rolling Stone.
BUmediagathering-Jak
LAHIS&RR-7
LAHIS&RR-1
LAHIS&RR-4
LAHIS&RR-6
LAHIS&RR-8

Foto-foto lainnya: LAHIS&RR-7X LAHIS&RR-2X LAHIS&RR-3X LAHIS&RR-1X LAHIS&RR-4X LAHIS&RR-5X LAHIS&RR-6X

Domestic Groove: REBECCA REIJMAN

$
0
0

Bex2
REBECCA REIJMAN
Singer, Songwriter, Music Curator, Model

What music (album/s or song/s) are you into at the moment?
At this moment I’m into the Turn Blue album, by the Black Keys. What a great album. And for some reason I’ve been listening non stop to Florence + the Machine’s MTV unplugged album (released 2012) in 2015.

And I think Cypress Hill’s Black Sunday album should also be on this list.

What was the first record you bought—any interesting story behind it?
Ah! This is such a cherishing moment for me. I remember it like it was yesterday: I was about 13 years old and still living in my hometown The Hague. It was my very first visit to the ‘new’ Virgin music store in the Schoolstraat, if I’m not mistaken.

A huge building full with great music, people digging in the discount & sale sections for their favorites AND you could listen to albums of upcoming artists, for free! Being a little 13-year old music fanatic: this store really blew my mind.

It’s where I fell in love with The Miseducation of Lauryn Hill album. Dude. Her album just completely took over my body, my mind, it made me see the ‘bigger picture’ & ‘my purpose in life’. WTF? I was only 13, but somehow, this album touched me deeply. Ngeriii. I was standing there for almost 2 hours, just ‘free’ listening & goose-bumping. Then I visited Virgin every day, after school, for at least 2/3 weeks just to listen to her album until I finally asked my dad to buy it for me.
LaurynHillTheMiseducationofLaurynHillalbumcover
What, other than your own, are your all-time favorite albums? Why?
Definitely all Lauryn Hill’s albums: Life changing & so inspirational
D’ Angelo – Brown Sugar: Great production, Super sexy music
Stevie Ray Vaughan and Double Trouble – Live at Carnegie Hall: Amazing & epic
La Rouge Volume 8 Hosse Hosse: What can I say? It’s my Sranang roots, this album grew my love for Surinamese Kaskawi Kaskawina music.

What was the worst record you ever purchased?
Hmm. That’s harsh to really say ‘the worst record’, I mean, I really love so many genres & appreciate all kinds of music. But if I’d had to choose it would be my Rammstein album.

Who do you want to be, other than yourself, next time you reincarnate?
Aduh. Tough question. But I would probably choose any president that started unnecessary wars based on false flag propaganda (let’s say George W. Bush) and created more chaos than peace, the mass murdering of innocent civilians and leading to the world troubles we face today in 2015. And probably try to reverse his actions. (Too serious yeah? Haha. Well, you asked.)

What book are you reading now and what’s the score (1-10)?
To be honest I don’t have time to read books anymore. Having a 2-year old and a 6-month old baby keeps me pretty occupied.

But the last book I read was about 7 months ago, a Dutch book titled Toen ik je zag* by Isa Hoes. A true story about this amazing talented actors/theater couple, who met each other on set, their life as famous Dutch actors and their marriage. Isa writes about her husband Antonie Kamerling, who suffers from a depression and ended up taking his own life in 2010. Leaving behind his two young children and Isa. A touching story. Score: 8
*When I saw you
MadMax
What new movie should people see? Why?
Mad Max or Jurassic World. Pretty cool stories, cool effects. These are also the only new movies I have seen, haha. And actually, I only went to the theaters lately just to eat the hot dogs & popcorn. What can I say, I just love the cinema hot dogs hehe.

What music do you choose to start your weekend?
The Very Best of Curtis Mayfield – “Pusherman”. I mean, what a song! Great, soulful, funky & I love it! Not too loud, so enjoyable. Really great song to start my weekend with.

Disclosure ft. Gregory Porter – “Holding On”. Great house production, no commercial EDM shitty Afrojack music, classy & just good. Gives me a good feeling when I’m getting ready to go out or dance with my little boys, perfect.

M.I.A – “Bucky Done Gone” (Jamie Jones Remix). Insane house song. Really pumpin’. Perfect for heading to a party & partaaay!

And music you choose to end your weekend?
Osunlade – “Blackman”. Just love the song, vibe & tempo. Not too fast, perfect to end my weekend.
Lenny Kravitz – “New York City”. Great song by Lenny and I just love the music video!

Bex&Bex

Rebecca is at the moment pretty busy with her 2 sons, eldest is 2 years. Youngest is 6 months. Got her hands full with those boys, but she manage to be the music curator & spokesperson for Bali Unite Festival: “Been working with Bali Unite for 8 months now, great experience!”

She’s currently working on her mini album; will probably start recording mid August. After releasing two albums here in Indonesia, last one was in 2010 and appeared as a model for 80 magazine covers, she’s ready to explore her artistic needs & wants—ready to Rock ‘n roll!

Domestic Groove: DOCHI SADEGA

$
0
0

Dochi2
DOCHI SADEGA
Basis, Wirausahawan, Seniman

Musik apa yang sedang anda sukai saat ini?
Selera musik kayanya 10-15 taun kebelakang gak berubah. Hanya saja bank referensinya bertambah. Ska masih suka, punk rock masih suka, hip hop masih suka.

Kalo band? Sekarang lagi nyimak Vacationer. Proyek baru Kenny Vasoli, yang dulu bikin The Starting Line.

Apa album rekaman pertama yang anda beli―ada kisah menarik di baliknya?
Yang pake uang sendiri pertama kali kayanya Slank, Generasi Biroe. Soalnya bokap ga akan mau beliin karena dia gak suka gue dengerin Slank dulu. Sampe pas gue mau dengerin di mobil trus kasetnya di keluarin sama dia dan dilempar ke kursi belakang. Hehe.
Weezer-bluealbum
Apa album favorit anda sepanjang masa? Kenapa?
Weezer, Blue Album — Sangat mempengaruhi cara gue menulis lirik/lagu.
Hellogoodbye, Zombies! Aliens! Vampires! Dinosaurs! — Album yang jadi referensi PWG di awal terbentuk
The Beatles, Anthology — Rangkuman dari lagu-lagu Beatles yang gue denger while growing up.

Gue suka penulisan lirik dari kacamata nerdy yang selalu melihat sosok yang gue suka sebagai seorang yang “out of my league”. I worship women. Weezer, Hellogoodbye, dan Beatles referensi yang tepat buat gue.

Apa album rekaman terburuk yang pernah anda beli?
Pee Wee Gaskins Live DVD. Gue beli ini pas PWG main di mal SKA Pekanbaru waktu PWG tur ke Sumatera. Gue gak tau kalo itu udah rilis jadi gue beli. Packaging jelek, sound jelek, gak mau gue tonton dan denger untuk kedua kalinya sih.

Di reinkarnasi berikutnya, selain diri anda sendiri, anda ingin menjadi siapa?
Pengen jadi kucing Persia exotic short hair atau Scottish Fold. Pasti gue tidak akan diperlakukan tidak menyenangkan.

Buku apa yang sedang anda baca sekarang, skornya berapa (1-10)?
Austin Kleon, Show Your Work! — 7, simple and inspiring.
TerminatorGenisys
Film baru apa yang orang-orang harus tonton? Kenapa?
Terminator Genisys. Gak ketebak karena storyline-nya beda, dan ada Emilia Clarke. You get to see Arnold’s awkward-nice-try smile.

Lagu apa yang anda pilih untuk memulai akhir pekan?
Vacationer, “The Wild Life” — Perfect ambience, nice tune, positive vibe!

Dan lagu untuk mengakhiri akhir pekan?
Vacationer, “Good As New” — Biar gak “I hate Mondays”, end your weekend with a positive feeling biar gak marah-marah di social media whining about you getting stuck in traffic while the fact is YOU ARE TRAFFIC, and complaining about you wanna move to another town or country. I’m feeling good as neeeeeeeeewwwww

Dochi1

Tak berselang lama setelah memasuki era baru dan menarik: menikah dan menjadi suami, bersama Pee Wee Gaskins ia ngebut mempersiapkan album paling gres, A Youth Not Wasted. Dochi merasa begitu bergairah karena beberapa kolaborator seperti Scott Sellers dari Rufio mengutak-atik sound serta Nukui Bogard yang pernah mengerjakan artwork untuk MxPx, Bowling for Soup, Lagwagon, bakal berkolaborasi artwork di album mendatang tersebut.

Pun Dochi amat optimistik setelah penandatanganan kerjasama dengan Universal Music yang menurutnya bakal lebih mempermudah urusan-urusan internasional.

Sehari-harinya, Dochi sibuk mengurusi kucingnya, Pak Ruru, yang sedang disiapkan perkawinannya dengan kucing temannya. Sementara itu bisnis-bisnisnya masih berjalan: resto HomeRibs dan Sunday Sunday Co. Selebihnya, ia dalam proses merancang gerakan Zero Hate serta menghabiskan sebagian waktu senggangnya dengan hobi baru: menunggangi motornya, Atom.

SIMAK JUGA
Pop Punk dan Revivalisme

Superman Is Dead’s Bio Comin’ Soon Atcha!

$
0
0

Sekadar hendak mengabari bahwa biografi Superman Is Dead yang saya tulis sudah masuk ke percetakan hari Senin lalu. Jika semua berjalan sesuai jadwal maka 18 Agustus 2015, kurang dari tiga minggu lagi, buku tersebut akan terbit.

Akan diadakan pesta khusus untuk menyambutnya yaitu pada tanggal 18, 20, dan 28 Agustus 2015, ketiganya di Bali. Info lokasi dan lainnya akan disebarkan segera, awal-awal Agustus.

Di berita ini saya sisipkan foto-foto saat biografi sedang masa finalisasi tata letak juga colongan foto-foto yang akan anda dapatkan di dalam buku biografi tersebut.

Ikuti terus perkembangannya, jaga kuda-kuda, jangan kemana-mana!

Tahun 2001, acara Gerilya Musik Underground (GMU) di Universitas Jayabaya, Jakarta. SID waktu itu banyak diselimuti mitos macam salah satu personelnya bule, pernah berbagi panggung dengan NOFX, dsb. Di GMU ini SID menjadi salah satu grup yang paling ditunggu selain band Jerman, Skin of Tear. Pasca GMU in nama SID melonjak gila-gilaan, dari jagoan daerah menuju skala nasional.

Tahun 2001, acara Gerilya Musik Underground (GMU) di Universitas Jayabaya, Jakarta. SID waktu itu banyak diselimuti mitos macam salah satu personelnya bule, pernah berbagi panggung dengan NOFX, dsb. Di GMU ini SID menjadi salah satu grup yang paling ditunggu selain band Jerman, Skin of Tear. Pasca GMU in nama SID melonjak gila-gilaan, dari jagoan daerah menuju skala nasional.

Awal 2003, di Serangan, Bali. Ini sesi pemotretan outdoor untuk keperluan promo album debut SID bersama Sony, Kuta Rock City (KRC). Mobil Chevrolet Impala hitam buatan 1966 inilah yang muncul di sampul belakang KRC dan dicantoli slogan, "Punk rock is about being 18 and saying no." Lihat juga bagaimana Bob, Eka, JRX, tertawa lepas, begitu ringan-riang, tiada menyangka bahwa SID bakal menjadi satu dari sedikit grup musik di Nusantara dengan jutaan penggemar militan. Dulu itu pikirannya hanya nge-band, keren, bersenang-senang, itu doang. | Foto: courtesy of Tiga Grafis

Awal 2003, di Serangan, Bali. Ini sesi pemotretan outdoor untuk keperluan promo album debut SID bersama Sony, Kuta Rock City (KRC). Mobil Chevrolet Impala hitam buatan 1966 inilah yang muncul di sampul belakang KRC dan dicantoli slogan, “Punk rock is about being 18 and saying no.” Lihat juga bagaimana Bob, Eka, JRX, tertawa lepas, begitu ringan-riang, tiada menyangka bahwa SID bakal menjadi satu dari sedikit grup musik di Nusantara dengan jutaan penggemar militan. Dulu itu pikirannya hanya nge-band, keren, bersenang-senang, itu doang. | Foto: courtesy of Tiga Grafis

Iklan yang dimunculkan di media-media cetak oleh Sony Music saat mempromosikan album perdana Superman Is Dead, Kuta Rock City, Mei 2003.

Iklan yang dimunculkan di media-media cetak oleh Sony Music saat mempromosikan album perdana Superman Is Dead, Kuta Rock City, Mei 2003.

Foto diambil di awal-awal 2003, sebelum Kuta Rock City dirilis. Kami adalah empat sekawan, putra daerah, yang berusaha menaklukkan blantika musik nasional. Bob, Eka, JRX, berkutat di urusan musik dan rupa-rupa isu berkesenian, saya fokus menata propaganda, menggarami agitasi, dan tetek-bengek administrasi.  | Foto: Agus Pande.

Foto diambil di awal-awal 2003, sebelum Kuta Rock City dirilis. Kami adalah empat sekawan, putra daerah, yang berusaha menaklukkan blantika musik nasional. Bob, Eka, JRX, berkutat di urusan musik dan rupa-rupa isu berkesenian, saya fokus menata propaganda, menggarami agitasi, dan tetek-bengek administrasi. | Foto: Agus Pande.

Glampunkabilly Inferno (GI), band management yang mengurusi Superman Is Dead.  Dari kiri ke kanan: saya, Ade Putri, Icha, dan Dodix. Di Bali, sepertinya GI adalah band management profesional paling pertama, Ade Adinata, rekan yang sempat menemani SID tampil di acara Gerilya Musik Underground, 2001, serta Dodix, merekalah yang menyarankan saya mendirikan band management agar pengelolaan band lebih tertata serta bisa mengurusi bukan hanya SID (di perjalanannya GI kemudian juga memayungi Navicula serta Postmen). Dodix kemudian masuk dalam GI menjadi road manager. Icha, istrinya, mengurusi akunting dan urusan administrasi. Ade Putri belakangan saya ajak bergabung, menjadi representasi GI di Jakarta.  Dodix sendiri kini menjadi Operations Manager untuk manajemen Superman Is Dead.

Glampunkabilly Inferno (GI), band management yang mengurusi Superman Is Dead.
Dari kiri ke kanan: saya, Ade Putri, Icha, dan Dodix. Di Bali, sepertinya GI adalah band management profesional paling pertama, Ade Adinata, rekan yang sempat menemani SID tampil di acara Gerilya Musik Underground, 2001, serta Dodix, merekalah yang menyarankan saya mendirikan band management agar pengelolaan band lebih tertata serta bisa mengurusi bukan hanya SID (di perjalanannya GI kemudian juga memayungi Navicula serta Postmen). Dodix kemudian masuk dalam GI menjadi road manager. Icha, istrinya, mengurusi akunting dan urusan administrasi. Ade Putri belakangan saya ajak bergabung, menjadi representasi GI di Jakarta.
Dodix sendiri kini menjadi Operations Manager untuk manajemen Superman Is Dead.

Di sela-sela lintang pukang membereskan buku ini saya sempatkan berpose sejenak dengan sahabat saya, Ayip Budiman. Ia membantu (dan mendikte, memarahi, serta memaki-maki, hihi) saya di urusan desain dan tata letak. | Foto: Sam Bonaventura.

Di sela-sela lintang pukang membereskan buku ini saya sempatkan berpose sejenak dengan sahabat saya, Ayip Budiman. Ia membantu (dan mendikte, memarahi, serta memaki-maki, hihi) saya di urusan desain dan tata letak. | Foto: Sam Bonaventura.

Di ruang kerja Ayip yang luar biasa artistik inilah desain dan tata letak dikerjakan. Saat jeda kami berdiskusi dengan beberapa teman siapa tahu ada masukan yang konstruktif. | Foto: Sam Bonaventura.

Di ruang kerja Ayip yang luar biasa artistik inilah desain dan tata letak dikerjakan. Saat jeda kami berdiskusi dengan beberapa teman siapa tahu ada masukan yang konstruktif. | Foto: Sam Bonaventura.

Rekaman suasana pengerjaan desain dan tata letak. Ayip (memunggungi kamera) barangkali menyangka saya sedang berpikir tentang masukan apa yang bisa saya berikan untuk desain dan tata letak. Padahal saya sedang membayangkan, "Wah, makan sate kambing terus lanjut bir dingin kayaknya enak neh..." | Foto: Sam Bonaventura.

Rekaman suasana pengerjaan desain dan tata letak. Ayip (memunggungi kamera) barangkali menyangka saya sedang berpikir tentang masukan apa yang bisa saya berikan untuk desain dan tata letak. Padahal saya sedang membayangkan, “Wah, makan sate kambing terus lanjut bir dingin kayaknya enak neh…” | Foto: Sam Bonaventura.

Bertukar pikiran dengan karib-karib terdekat tentang skenario video yang hendak digarap untuk teaser biografi SID. Gus Wib akan bertindak sebagai sutradara dan Ridwan Rudianto sebagai penasehatnya. Tunggu ya!

Bertukar pikiran dengan karib-karib terdekat tentang skenario video yang hendak digarap untuk teaser biografi SID. Gus Wib akan bertindak sebagai sutradara dan Ridwan Rudianto sebagai penasehatnya. Tunggu ya!

Nah, selama saya berminggu-minggu di Bali sibuk membereskan biografi SID, saya mesti rela meninggalkan 3 kucing saya yang lucuk: KitKat, Clover, dan Mika. Kadang saya menitikkan air mata saat kangen dengan mereka (tsah...).

Nah, selama saya berminggu-minggu di Bali sibuk membereskan biografi SID, saya mesti rela meninggalkan 3 kucing saya yang lucuk: KitKat, Clover, dan Mika. Kadang saya menitikkan air mata saat kangen dengan mereka (tsah…).

Viewing all 209 articles
Browse latest View live